Sunday, March 8, 2009

Merawat Nenek

oleh: Sudarmono

Photobucket

Fajar masih pekat terbungkus sunyi. Adzan subuh baru saja reda. Dunia lekat tergolek menikmati sisa tidurnya. Dengan kantuk yang masih menggelanyuti mata, tangan pemuda itu pelan memasukkan kayu ke dalam tungku. Sudah dua hari ini, selang elpiji yang merambati kaki meja di sudut daput tak lagi mampu lagi menyemburkan gas. Ia pun harus kembali bersetia dengan tungku batunya. Setiap pagi, hampir 2 minggu ini, sebelum berangkat sekolah, ia harus bangun lebih awal untuk menyediakan air hangat buat sang nenek. Separo kaki dan tangan neneknya tak berdaya direnggut stroke. Menyisakan tubuh tuanya hanya dapat pasrah terpatri merambati tempat tidur. Dan seperti yang dulu sang nenek lakukan padanya semasa ia kecil, sekarang pun, ia meminjamkan tangan, kaki, dan waktu yang ia punya untuk berganti merawat nenek.

‘Dar…’ dari dalam kamar terdengar suara memanggil. Pelan.
Pemuda itu sigap melompat. Ia jejalkan satu kayu bakar lagi sebelum segera menghambur ke kamar di sebelah dapur. Sebuah ruang 3 x 4 dengan bata yang mulai melepuh hancur. Menempel di dinding, tempat tidur kayu yang terbungkus oleh kelambu dengan beberapa lubang. Selain tempat tidur yang sedang menanggungkan neneknya tersebut, hanya ada sebuah almari kecil pakaian meringkuk di sudut ruangan. Karpet yang baru dipasang lebaran kemarin pun sudah luntur warna dan polanya.

‘Mau ke belakang,’ dengan mata menerawang, sang nenek melontar kata ketika pemuda itu menyembul dari balik kelambu yang tersibak.

Tanpa banyak bicara, pemuda itu menyusupkan tangannya ke balik leher sang nenek. Tangan lainnya terjulur mendekap telapak tangan. Dengan sentakan pelan, tubuh nenek terangkat, berubah menjadi posisi duduk. Tangan-tangan pemuda itu berganti membimbing kaki nenek menapaki lantai. Di tepian tempat tidur, dengan kaki telah menjejak tanah, sang nenek berupaya mengangkat tubuhnya sendiri untuk berdiri. Tapi tubuh itu hanya bergerak sedikit. Sebelum kemudian terhempas kembali. Sang pemuda pun hanya tersenyum. Ia lingkarkan kedua tangannya di pinggang sang nenek, mengangkatnya, lalu memapahnya berjalan menuju kamar kecil yang terletak di depan tungku dapur. Kaki-kaki tua nenek belajar menapak dalam irama yang pelan.

Sudah 2 minggu nenek terberangus stroke. Pada awalnya, nenek hanya dapat terkulai di tempat tidur. Ia tidak dapat bergerak. Tubuh tuanya terjahit menyatu dengan bilah-bilah papan tempat tidur. Nenek makan dengan nasi yang disuapkan. Buang air dengan tubuh dipobong. Bahkan seringkali, nenek buang air di tempat tidur. Siapa mengira, 2 minggu lalu, nenek masih tegar berjalan di pagi hari, tapi di siang hari menjadi terkulai ketika hipertensi meremuk aliran syaraf yang memompa darah ke otaknya. Warta pun menyebar. Penduduk mengalir menjenguk. Entah sudah berapa ucap sedih dan tangis mengantung dalam kamar ini tiap kali ada warga yang berkunjung.

Stroke memang dapat menjadi sangat kejam. Entah sudah berapa warga desa yang terkena serangan jahatnya. Tak ada yang dapat mereka lakukan. Pengobatan modern, pijat, atau ramuan tradisional yang diupayakan pun kemudian tak lebih hanya sekadar bentuk tanggung jawab belaka. Sekadar mewartakan bahwa upaya telah dilakukan. Perawatan telah diupayakan. Tanggung jawab merawat lunas ditunaikan. Stroke menjadi demikian sukar disembuhkan. Bayang putus asa pun tak ayal juga melanda keluarga sang pemuda, ibunya, kakak-kakaknya, kerabat terdekatnya. Dua hari sejak nenek terbaring, tak ada yang mereka lakukan selain meratap dan menatap nenek yang tak lagi berdaya. Pengobatan ke mantri desa tak berarti banyak. Upaya membawa ke rumah sakit pun dianggap tak lebih dari penghamburan uang semata. Kaki dan tangan nenek bahkan makin tak dapat bergerak. Putus asa pekat mengepung. Pasrah bahkan sudah menjadi kata yang siap untuk diucapkan.

Hingga akhirnya terdengar warta itu.
‘Ada dukun pijat yang sakti. Ia dapat menyembuhkan penderita stroke.’ Seorang penduduk yang berkunjung, lek Nawi, meniup secercah gembira.
‘Paling ya seperti dukun pijet lainnya,’ ibu menanggapi warta itu dengan datar. Putus asa telah erat mengepung hatinya.
‘Tapi istrinya lek Tur mengalami perkembangan setelah dipijit oleh dukun ini,’ Lek Nawi tetap kukuh. Pengobatan memang harus diikhtiarkan. Apapun hasilnya, biar Allah yang menentukan.
Akhirnya ibu luluh. Ia meminta anak-anaknya menghubungi dukun sakti tersebut.

[]

Setelah buang air, nenek berwudhu untuk solat Subuh. Satu tangan pemuda itu mengapit tubuh nenek, sementara tangan yang lain mengucurkan air wudhu dari sebuah kendil kecil. Selesai wudhu, pemuda itu memapah tubuh nenek ke tempat tidur yang terletak di ruang depan kamar tidur nenek. Nenek tenggelam dalam nikmat solat Subuh. Air telah mendidih. Sang pemuda pun menuang air panas tersebut ke dalam ember, menambah air dingin agar suhu panasnya sesuai untuk mandi.

[]

Dukun pijat itu telah tiga kali berkunjung. Tidak seperti dukun pijat lain, sekali pijat, dukun muda ini menghabiskan waktu sehari penuh. Tubuh nenek ia urut, gulung, putar, bahkan terkadang dicubit di bagian syaraf-syarafnya. Pijat pertama, tubuh nenek melepuh dalam memar. Begitu pijat selesai, nenek mencercau mengeluhkan sakit di sekujur tubuhnya. Syaraf nenek belum bereaksi. Aliran darah ke otak belum lagi normal. Nenek tak kuasa memerintahkan kaki dan tangannya untuk bergerak mengikut koordinat pikirannya. Pijat kedua, tubuh nenek kembali melepuh. Tapi lihat, nenek mulai dapat mengangkat kaki kirinya. Meski hanya sedikit. Meski masih menangis ketika ada yang menengok, nenek telah mulai kembali tersenyum. Pijat ketiga, nenek dapat duduk sendiri. Tangan dan kaki kirinya mulai terbangun dari tidur panjang. Lemah masih ada, tapi kaki dan tangan mulai menurutkan perintah nenek. Tak lagi dibopong ketika ke belakang, nenek mulai meminta dibimbing berjalan.

[]

Nenek telah selesai sholat. Air mandi juga siap. Tangan pemuda itu kembali bersetia membimbing nenek. Sang ibu telah sedari subuh berangkat ke pasar. Kakak-kakaknya yang lain sedang berada di luar rumah untuk urusan masing-masing.

‘Pake shampoo ya, nek?’
Nenek mengangguk pelan. Tawanya mendadak pecah ketika ia justru menggunakan busa sabun untuk menggosok rambutnya. Sang pemuda juga ikutan tertawa sebelum mengulurkan shampoo kepada neneknya. Selesai mengguyur kepala, nenek menggapai sikat gigi. Tak lagi ingin nenek menyemburkan kumur ke dalam ember air bersih, pemuda itu sigap menggapai gayung lain di depannya.

‘Semprotkan di sini, nek,’ teduh ucap sang pemuda sebelum kemudian mengambil jarit untuk menutup tubuh nenek yang telah selesai mandi.

Hari ini dukun pijat akan kembali datang. Lelaki muda yang terlalu tampan untuk dibilang dukun itu memberitahu bahwa dalam 4 kali pijat, insyaallah, nenek akan dapat mulai berjalan. Selesai mandi, nenek kembali terduduk di tempat ia sholat tadi. Terang mulai menjelang. Dunia bersiap memulai perjalanan hariannya. Di antara riuh burung yang berjumpalitan di rimbun bambu belakang rumahnya, pemuda itu, Sudarmono, menyapukan bedak pelembut ke penjuru tubuh nenek.

Terang pagi semakin benderang. Darmono harus bersiap untuk berangkat ke sekolah. Dengan senyum menghiasi wajah, berdoa semoa pijat keempat ini mampu melenyapkan lemah di tubuh nenek, Darmono mencium tangan nenek untuk berpamitan. Terduduk di kursi, nenek mengusap lembut wajah cucu keenamnya tersebut. Darmono pun memeluk tubuh renta neneknya. Membisikkan bahwa ia akan segera pulang untuk kembali menemani sang nenek berlatih jalan. Darmono berlalu. Ia pun berpamitan kepada mbak Leni, istri salah satu kakaknya, yang datang membawakan sarapan dan akan menggantikan dirinya menjaga nenek tercinta.

[]

Satu bulan sejak serangan stroke, nenek mulai belajar menapak sendiri. Sore ini nenek berlatih meniti tanah teras rumah. Berjejer di belakangnya, Darmono, ibu, kelima kakaknya dan para istri, menemani dengan derap langkah-langkah pelan. Selamat datang kembali, nek. Kami akan selalu di sini, menemanimu.


Deling, 20 Februari 2009