Thursday, January 21, 2010

Sri Mulyani, Srikandi Panggung Century

Wajah mereka sumringah. Senyum melebar. Kumpulan tangan mengepal. Mirip ekspresi Taufik Hidayat ketika jumping smasnya menukik tajam, telak menghujam, menyusur tepian lapangan Lin Dan. Kalau tidak salah hitung, jumlah mereka 40-an. Mirip lapis warna pelangi yang saling berhimpitan, aneka rupa warna jaket gagah membariskan mereka rapi di belakang larit meja panjang. Nama kelompok yang mereka sandang juga tak kalah elok: Jaringan Kampus Nasional.

Mudah ditebak, terminologi jaringan pasti menyiratkan aneka sulam benang yang memintal. Dan, jaringan yang kemarin bertemu dengan Panitia Khusus tentang Hak Angket Bank Century tersebut, merupakan kumpulan lintas jejaring gerakan mahasiswa. Layaknya Achilles yang dengan gagah menegakkan panji kebesaran Praha, tujan mereka juga tak kalah elok mulia: mengawal pengungkapan kasus Century.

Demokrasi memberi ruang untuk berpendapat dan bersikap. Konstitusi terang benderang menjamin kebebasan bersuara. Sampai di titik ini, tidak ada konflik melihat senyum lebar teman-teman mahasiswa meneriakkan yel-yel menggelegar, 'hidup mahasiswa'.

Century ibarat sinetron kejar tayang. Tiap detik, ia hilir mudik, wira wiri, menghias setiap media pemberitaan. Sedemikian intensnya, hingga andai kita bernafas, maka bau yang keluar adalah remah temah aroma Century.Kasus Century, dengan segala variannya, telah menjadi asteroid yang membombardir pertahanan bumi.

Siang itu, di antara kelebatan tayangan televisi, ada satu hal yang begitu mengusik nurani. Menohok begitu keras. Meninggalkan ceruk menganga, yang dengan cepat terisi oleh amuk kegeraman. Ada ngilu yang merambat ketika teman-teman mahasiswa yang perkasa, dengan begitu mudah membahanakan suara, 'Seret Sri Mulyani...'

Aku tidak mengenal Sri Mulyani secara personal. Tetapi, mengetahui rekam jejaknya, ada gejolak tidak rela ketika dengan begitu mudah ia dihina oleh sebuah kebijakan yang masih sangat layak diperdebatkan benar tidaknya.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam laporannya kepada DPR, memang menyimpulkan ada kesalahan kebijakan terkait penanganan Bank Century. Tetapi, dengan segala hormat akan kredibilitas para auditor BPK, penafsiran kebijakan sangat kental dengan nuansa psikologis-subjektif. Kemampuan seseorang, luas cakup pemahaman seseorang, beban tanggung jawab seseorang, latar belakang seseorang, memegang peran fital dalam memaknai sebuah kebijakan. Dalam perspektif ini, kesimpulan BPK tentang adanya salah kebijakan yang dilakukan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK) sehingga memasukkan bank Century ke dalam 'perawatan' Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), masih menyisakan rongga yang sarat perdebatan.

Dalam catatan ini, saya tidak akan menelusuri jejak mengapa KSSK memasukkan Bank Century ke dalam dekapan LPS, terlalu banyak berita yang sudah mengulasnya. Yang mengganggu pikiran saya adalah, begitu mudahnya mereka menghujat Sri Mulyani. Panitia Khusus masih menggelar rapat, KPK masih bersiap menelisik kotak Pandora Century, tetapi mengapa amarah, caci, maki, dengan begitu mudah diletupkan. Dan, terlebih, kepada Sri Mulyani..

Saya memang agak subyektif di sini. Tetapi, siapa anak negeri yang tidak akan kagum terhadap Menteri Keuangan yang super cerdas tersebut. Tidak hanya kepintaran otaknya, sehingga ia diundang bicara di KTT G20 dimana bahkan Singapura pun tidak mendapatkan kesempatan, tetapi juga integritas moral dan profesionalitas kinerjanya.

Di kala ibu kandungnya sakit keras, ia memilih tetap bekerja mengawal rupiah agar tidak semakin terjun bebas. Ia 'menepikan' satu nyawa yang telah memberinya kehidupan, demi menyelamatkan jutaan nyawa penduduk Indonesia.

Di saat pemerintah hendak melindungi konglomerat yang tersandung masalah, ia lantang menyuarakan ketidaksetujuan. Parasnya yang ayu bahkan tidak mengurangi ketegasan meminta mundur andai sang konglomerat tetap diutamakan. Dalam dunia komedi politik Indonesia, bahkan saat mereka yang sekarang berteriak lantang berkuasa, pernahkan kita mendapati tokoh meminta mundur dari lindan nikmat peluk kekuasaan?

Ketika departemen lain masih ingin mempertahankan gemuk struktur-tambun-lamban birokrasi, ia menjadi pioneer reformasi birokrasi.

Dan, menyoal kecerdasannya, sungguh betapa kita akan dibuat takjub. Bahkan dunia pun dibuat terpana dengan kemampuannya mengolah aneka angka menjadi benteng kokoh yang menopang tegak perekonomian Indonesia. Berturut 2 kali, ia terpilih sebagai Menteri Keuangan terbaik di dunia.

Begitu mudah manusia dijangkit lupa. Untuk hal-hal yang tidak diinginkan, amnesia begitu gampang mewabah. Sungguh, sulit untuk mencari pejabat dengan integritas moral, profesionalitas kerja, dan kecerdasan setara dengan Sri Mulyani.

Akhirnya, tiada akan pernah diberi tempat untuk korupsi. Ia merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. Tetapi, mari, kemuliaan langkah memperjuangkannya, tidak dilakukan dengan tindakan yang justru meluruhkan esensi moralitas. Begitu sejuk ucapan seorang yang catatannya masih kita jumpai di pinggir sebuah majalah, 'Janganlah kita ribut. Biar pengadilan yang membuktikan.'

Tetap tegar, ibu. Berbaris berjajar dengan pemakai gelang 'M', simpati, doa, dan salam hormatku untuk ibu.