Sapu yang kotor tidak akan dapat membersihkan ruangan. Idiom itu rasanya tepat untuk menggambarkan ‘borok’ yang saat ini tengah menganga di tubuh institusi Polri. Kasus Gayus Halomoan seolah menjadi garam yang membuat bibit-bibit ‘borok’ yang telah ada menjadi luka penuh nanah berbau anyir.
Kasus Gayus Halomoan memang sarat dengan ‘keajaiban’. Tengok saja, di Pengadilan Negeri Tangerang, ia divonis bebas. Penelaah keberatan pajak perorangan dan badan hukum Kantor Pusat Direktorat Pajak itu dinilai tidak bersalah, meski telah dijerat dengan dua dakwaan –pencucian uang dan penggelapan.
Skandal pajak ini sepertinya akan adem ayem saja seandainya mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Susno Duadji tidak angkat bicara. Berbekal sakit hati karena merasa diperlakukan tidak adil oleh Polri, Susno membuka ‘kotak pandora’ bahwa bebasnya Gayus tidak terlepas dari adanya main mata antara jaksa dan hakim. Meski pada awalnya terkesan cuek, perhatian publik yang demikian luas membuat Polri kemudian serius menangani kasus makelar pajak ini.
Peristiwa Gayus Halomoan makin menegaskan betapa keruh dan carut marutnya praktek keadilan di Indonesia. Polisi, jaksa, dan hakim, tiga pilar yang harusunya menjadi pengawal keadilan, justru menceburkan diri dalam kotor permainan persekongkolan. Mereka seenaknya memainkan ayat dan pasal demi mencapai apa yang diinginkan oleh pemesan (mereka yang mampu bayar). Keadilan yang seharusnya menjamin rasa aman dan adil, dipelintir sedemikian rupa demi memenuhi kepentingan pribadi.
Secara logika, setidaknya terdapat tiga lembaga yang harus bertanggung jawab akan kasus Gayus: Kepolisian, Kejaksaan, dan Direktorat Pajak. Pegawai negeri golongan III-A, dengan gaji per bulan hanya 12 juta, mempunyai rekening sebesar 28 milyar, beberapa rumah mewah, dan ke kantor selalu bergonta ganti mobil, seharusnya memicu kecurigaan teman maupun atasan. Lain halnya apabila ternyata ‘Gayus-Gayus’ lain juga banyak terdapat di Kejaksaan.
Institusi Polri, sebagai pemilik legitimasi sebagai penegak hukum, harus lebih serius mereformasi diri. Terkuaknya ‘borok’ ini membuktikan bahwa mekanisme pengawasan internal Polri sangatlah lemah. Tim Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian haruslah lebih mengaktifkan mekanisme pengawasan preventif sehingga segala tindak tanduk aparat Polri terpantau. Tingkah polah para mafia dan markus harus segera dihentikan. Sjahril Djohan, Hapusan Hutagalung, Andi Kosasih perlu disikat habis sehingga tidak dapat keluar masuk seenaknya ke tubuh Polri. Keberadaan ruang khusus bagi markus di sebelah ruang Kapolri juga perlu ditelisik kebenarannya. Tidak kalah penting juga adalah iktikad baik dari Mantan Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara. Ia harus berani bicara sehingga labirin anyir makelar kasus ini terurai dengan tuntas.
Jaksa Agung Hendarman Supandji sudah menyatakan menemukan kejanggalan dalam proses penuntutan Gayus. Hukuman yang telah dijatuhkan kepada jaksa Cirus Sinaga hendaknya juga menjadi alarm bagi kejaksaan untuk lebih profesional dan mengedepankan keadilan dalam melakukan tuntutan. Para jaksa terkesan demikian mudah memilih pasal yang dikehendaki sehingga pasal yang sebenarnya relevan tetapi apabila dirasa mengancam cenderung tidak dipakai.
Indikasi keberadaan ‘Gayus-Gayus’ yang lain mengindikasikan bahwa tugas pembersihan institusi Polri, kejaksaan, dan Direktorat Pajak masih jauh dari selesai. Semoga Gayus Halomoan menjadi martil yang tidak ‘mati’ sia-sia. Bau anyir yang diterbitkan oleh Gayus semoga mampu membawa perubahan positif di tubuh Polri dan Kejaksaan. Apabila praktek markus ini tidak dipotong tuntas, sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana nasib negeri ini di masa mendatang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment